Haluan 840 hektar menjadi incaran para pemburu harta karun dari lokal maupun negeri Tiongkok serta dari luar Sumbar.
Berdasarkan pantau dilapangan sekitar 200-an meter dari jalan tanah, tampak lima orang sedang beraktivitas. Satu orang memegang pipa, satu mengais-ngais tanah timbunan.
Terlihat ada dua orang tampak duduk di tanah timbunan berkeliling lubang-lubang menganga berair keruh bak susu coklat.
Ada satu mesin, biasa disebut dompeng. Begitulah pemandangan di lokasi tambang emas Jorong Jujutan Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, Solok Selatan, Sumatera Barat.
“Lihatlah, ini salah satu penambang mengeruk emas pakai dompeng, ” kata Medi, penduduk lokal yang mengantar saya.
Tambang emas ini masuk konsesi PT. Andalas Merapi Timber (AMT), perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang masih aktif sampai 2020.
Belakangan, ternyata perusahaan sudah terhenti sejak 2012. Luas izin 28.840 hektar masuk kelompok hutan Batang Hari Hulu hingga Batang Sangir.
Kami lalu melewati jembatan kayu dan menyeberang sungai. Sepanjang perjalanan, tampak lubang-lubang menganga. Bukit-bukit gundul, sebagian berlubang.
Baca juga:
Adagium Hukum : Pepatah-pepatah Hukum
|
Rata-rata bukit gundul itu di sepadan sungai. Pada pinggir sungai puluhan alat berat menghancurkan daerah sekitar. Air sungai keruh, kuning kecoklatan.
Perjalanan kami terhenti di lokasi cukup luas, banyak cekungan, dua alat berat dan puluhan mesin dompeng untuk menambang emas. Terlihat puluhan manusia bak semut hitam dari ketinggian
“Dulu ini sawmill sewaktu PT. AMT masih beroperasi, ” kata Darsal Putra, penduduk lokal yang ikut perjalanan ini.
Tempat pengolahan kayu praktis menjadi lokasi tambang emas sejak AMT setop operasi pada 2012. Di punggung-punggung bukit terlihat bekas guratan alat berat untuk tambang emas ilegal.
Kami melanjutkan perjalanan ke Pamong Besar. Masuk hutan, keluar hutan, makin ke dalam, tambang emas makin massif, ratusan manusia terlihat menyemut di sepanjang aliran sungai.
Suara mesin alat berat berpadu dengan suara mesin dompeng mengalahkan deras aliran sungai. Sepadan sungai hancur, bukit-bukit dikeruk, air sungai berwarna kuning gelap.
Di jalan tanah selebar tiga meter ini mobil double gardan berseliweran. Dari plat nomor polisi, mobil dari berbagai kota di luar Padang seperti Medan, Palembang, Jambi sampai Jakarta. Di bak belakang mobil terlihat puluhan jerigen minyak ukuran 50 liter.
Jika diperhatikan, mobil dari arah hutan, jerigen minyak kosong. Mobil dari arah luar menuju ke hutan jerigen tampak berisi.
Keterangan penduduk lokal, jerigen-jerigen ini berisi bahan bakar minyak (BBM) untuk tambang emas. Ia dibeli dari SPBU seputaran Solok Selatan, guna mengisi bahan bakar alat tambang.
Di Pamong Besar, ratusan alat berat berbunyi sahut-menyahut di sepanjang bantaran sungai (pamong).
“Ini pamong besar, lihatlah para penambang itu, ” ucap Darsal.
Ratusan manusia berjibaku di sepanjang aliran sungai. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada kelompok alat berat, mesin dompeng dan kelompok pakai dulang (peralatan tradisional).
Di pondok tanpa terpal di bibir bukit, pria ini menaruh tas sandang. Dia mengeluarkan beberapa pekakas memasak, dihidupkan lalu meletakkan periuk kecil diisi air mineral.
Doni, begitu nama pria 32 tahun ini baru datang dari Karang Putih, Sangir. Dia hendak nambang di Pamong besar, pekerjaan ini sudah dilakoni enam tahun belakangan.
Tak terhitung, sungai di Solok Selatan, dia datangi untuk berburu emas, seperti Sungai Batanghari, Batang Kandih, Batang Bangko, Pamong Besar, dan Pamong Kecil. Dari sekian banyak, katanya, terbesar dan paling banyak penambang di Batanghari.
Di Batanghari, katanya, ratusan alat berat beroperasi di sepanjang aliran sungai, ribuan manusia menyemut dari segala penjuru negeri, termasuk dari Tiongkok. Berbagai metode dipakai menambang, mulai manjahe (mendulang), mendompeng (mesin PK), pakai kapal dan alat berat.
Berkilo-kilogram emas keluar setiap hari dari sana. Sepengetahuan Doni, tak ada penangkapan, paling razia sekali-kali. Itupun kerap bocor, sebelum polisi datang, para penambang sudah tahu dari informan.
Saat kabar datang, para penambang bergegas pulang, alat berat disembunyikan ke dalam hutan.
“Alat berat bisa menyelamatkan diri sendiri, jika pasaran panas, alat berat masuk ke hutan digali, lubang besar. Setelah itu masuklah alat berat ke lubang yang bagian atas ditutup terpal. Tak satupun bisa menemukan alat berat itu, ” katanya.
Di Sungai Batanghari, penambang tak hanya dari lokal melainkan luar Sumbar bahkan dari Tiongkok.
Rata-rata pekerja ilegal Tiongkok didatangkan perusahaan-perusahaan tambang untuk membantu proses produksi mulai meneliti bebatuan (ahli geologi) - mencari tahu kandungan emas - hingga pengawas proyek (mandor).
“Disana juga banyak orang Tiongkok, mereka tak bisa bahasa Indonesia, ” ucap Doni.
Saking banyak penambang di Sungai Batanghari, lokasi ini terbilang “angker, ” sering makan korban, para penambang mati tertimbun karena lubang-lubang yang digali, adapula penambang mati tersedot mesin kompresor untuk menyelam. Juga operator alat berat mati karena alat terperosok ke lubang atau jurang.
Kala ada kecelakaan, katanya, aktivitas tambang berhenti beberapa saat. Mengeluarkan mayat dan dijemput keluarga. Keluarga, katanya, tak pernah lapor polisi atau memperpanjang masalah
“Mereka sadar aktivitas bertentangan dengan hukum, adapula penambang dibiarkan tertimbun begitu saja tanpa dikeluarkan dari lubang.”
Doni bercerita tentang kehidupan dia. Ayah dua anak ini menambang dengan cara tradisional, pakai dulang sejak masih bujangan.
“Dulu waktu bujang diajak teman, ternyata hasil lumayan. Akhirnya sampai sekarang, lumayan buat menuhi kebutuhan sehari-hari, ” katanya.
Untuk sekali menambang, Doni bisa bermalam di lokasi tiga sampai tujuh hari. Jika sehari mendapatkan emas cukup banyak, dia pulang awal. Kalau belum balik modal, dia akan terus menambang.
“Indak bisa dipastian, namonyo sajo rasaki-rasaki harimau, kadang dapek banyak, kadang untuak baliak modal sajo lai payah (Tak bisa dipatikan, namanya saja rezeki harimau, kadang dapat banyak , kadang balik modal saja payah), ” katanya.
Sekali periode menambang, Doni biasa mendapat tujuh ameh. Satu ameh (2, 5 gram) satuan berat biasa dipakai warga Sumbar.
Emas biasa dia jual di toko-toko sekitar Simpang Jujutan (jalan masuk konsesi AMT) atau di Pasar Padang Aro Solok Selatan, harga berkisar Rp1 juta-Rp1, 2 juta tergantung harga emas pasaran.
Emas berbentuk bulir-bulir seperti pasir. Emas ditaruh dalam botol kaca kecil yang dibawa dari rumah. Saat lagi apes, Doni hanya mendapat emas per bonci.
Satu bonci setara 10 garis timbangan khusus emas, perbonci dihargai Rp45.000-Rp50.000, tergantung dimana emas didapat. Emas paling mahal di Sungai Batanghari, tempat lain seperti Bangko dan Pamong harga lebih murah. Kadar emas dimiliki masing-masing wilayah juga berbeda.
Pada salah satu pundakan tanah kuning di antara lubang-lubang menganga, puluhan penambang jongkok sambil memegang batok kelapa. Mereka menunggu baket (tumpukan material yang diambil alat berat lalu dibagikan ke penambang tradisional).
Ini sebagai sumbangsih atau toleransi kelompok penambang alat berat dengan penambang tradisional. Operator alat berat akan memberi sebaket-sebaket kepada para penambang tradisional.
Ketika baket-baket ditumpuk, para penambang akan berlarian mengejar tumpukan sembari mengais-ngais dengan batok kelapa dan memasukkan ke dulang. Setelah itu, material digoyang-goyang untuk memisahkan antara emas dan pasir.
Kala mengejar tumpukan material ini, sering menimbulkan kericuhan bahkan berujung maut. Gara-gara , sepele, batok kelapa sebagai penyendok (pengeruk) material terinjak penambang lain, dan pecah.
“Disini batok kepala lebih murah daripada batok kelapa, jika tangan kaki bahkan kepalamu terinjak karena berebut emas, tak jadi masalah besar. Coba batok kelapa terinjak sampai retak atau pecah, hilanglah kepalamu, ” ucap Darsal.
Ucapan Darsal diamini Doni. “Caliak panambang tu, barabuik manyanduak kasik, co ayam digiah padi. Jan sampai tapijak tampuruangnyo, bisa-bisa angok malayang. Disiko labiah barago tampuruang pado kapalo.” (Lihat penambang itu berebutan menyendok bahan material, seperti ayam dikasih padi. Jangan sampai terinjak tempurung (batok) kelapa, bisa-bisa nyawa melayang. Disini lebih berharga tempurung daripada batok kelapa).
Marzuki, operator alat berat, hari itu sedang beristirahat siang. Dia bercerita, satu alat berat sang induk semang menyewa per jam Rp250.000. Sehari, alat bekerja 20 jam dalam dua shift.
Baca Juga:
Resep Es Kunyit Asem Jawa Segar, Bahan Sederhana Mudah Dibuat! Cocok untuk Mengurangi Kolestrol saat Lebaran
Pertama, sejak pukul 08.00-18.00, dilanjutkan pukul 18.00-04.00 dini hari. Selain dua operator, satu alat berat juga dibantu seorang kenek.
Selama 20 jam, khusus satu alat berat merek Hitachi memerlukan tujuh jerigen solar kapasitas 35 liter.
“Untuk gaji operator sesuai kesepakatan antara pemilik alat dengan penyewa, terkadang gaji operator ditanggung pemilik alat berat dengan uang sewa disepakati. Pilihan lain sewa alat dan operator berbeda, ” katanya.
Honor Marzuki sebagai operator alat berat Rp 20.000 per jam ditambah gaji bulanan Rp2, 5 juta selain makan dan kebutuhan sehari-hari seperti rokok dan peralatan mandi.
Alat berat bisa disewa melalui perusahaan ataupun perorangan di Jambi, Padang dan Pakanbaru.
Kebanyakan pemodal lebih suka menyewa ketimbang membeli alat berat untuk menghindari biaya perawatan mesin yang relatif mahal.
“Sebagian besar pemodal alat berat dari luar Sumbar, penduduk lokal paling hanya beberapa orang, ” ucap Marzuki.
Dalam satu kelompok pakai alat berat terdiri enam sampai delapan penambang
Semua pekerja memiliki peran berbeda. Jika pekerja delapan, empat sampai enam orang sebagai tukang bok, dia bertugas memasukkan material dalam kayu ke bok.
Lalu tukang dompeng dua orang untuk menyiram dengan air, memegang sedotan mesin dan tukang masak satu atau dua orang
Semua pekerja ini mendapat upah berdasarkan persenan, berkisar 5%-15% dari perolehan emas. Rata-rata seminggu penambang mendapatkan emas antara 4-6 kilogram.
Untuk sekali periode menambang, menghabiskan satu sampai tiga bulan, para pekerja bisa membawa upah sekitar Rp40 juta.
Tambang ilegal di Solsel, katanya, pakai alat berat mulai marak sejak 2011. Satu-persatu alat berat berdatangan dari berbagai penjuru. Para pemodal tak hanya swasta, ada juga oknum pejabat pemerintah daerah, anggota dewan, oknum kepolisian hingga pengacara.
“Mereka sebagai pemodal menerima hasil bersih setiap satu kali periode. Hasil bersih setelah dikeluarkan upah bekerja Rp100-300 juta tergantung emas, ” katanya.
Marzuki tak menampik tambang ilegal di Solsel tak lepas dari tangan besi pembeking.
“Ini sudah bukan rahasia umum lagi, semua orang tau. Mana bisa aman kalau tak nyetor.
Tak hanya pembeking kuat—yang disebut-sebut Marzuki melebihi level Polda - banyak juga oknum polisi datang ke lokasi minta jatah. Ada juga memasukkan proposal. Mereka dilayani dengan baik.
“Oknum polisi datang sekadar minta uang rokok juga banyak, alasan mereka bermacam-macam. Untuk biaya pertemuan di Padang, peringatan hari besar keagamaan, peringatan Hari Bhayangkara, atau para polisi Sentra Pelayanan Kepolisian minta jatah rutin ketika sedang ronda.”***